PARA GARONG BERDASI,
PENGHUNI NEGERI SETENGAH DEMOKRASI
(oktober 2015)
Pemeran
:
1. Abu
Bakar : Seorang anggota dewan yang
ingkar janji dan koruptor
2. Sunarji : Pol PP
3. Mbak
Ija : Pedagang kaki lima, kental
dengan logat Jawa
4. Ibu
Siska : Pemilik warung kopi,
kental dengan logat Papua
5. Susan : Seorang mahasiswa
6. Bu
Ani : Warga biasa
Latar
:
1. Lapangan
2. Jalanan
3. Warung
kopi
Adegan
I
(Latar menunjukkan di
lapangan atau tempat umum)
Di suatu negeri yang
bernama Indah Sia-sia akan mengadakan pesta demokrasi, yaitu pemilihan calon anggota
legislatif di masing-masing daerah provinsi, kabupaten/kota. Di suatu daerah
pemilihan yang bernama Kota Bajakan sedang mengadakan masa kampanye. Seorang calon
anggota legislatif sedang berkampanye pada warga di tempat umum.
Caleg :
“bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara sekalian, terima kasih karena
sudah berkumpul
ditempat ini. Saudara-saudara, jangan lupa untuk dukung saya Abu Bakar nomor urut 2 setengah dalam pemilihan legislatif nanti. Saya
berjanji akan mensejahterakan tempat ini.” (berbicara keras dengan gaya
meyakinkan)
PKL :
“bapak yakin bisa menepati janjinya?”
Caleg :
(langsung menjawab semangat) “oh tentu, saya akan menepati janji saya,
saya akan membuat perubahan yang baru. Yang
penting saudara-saudara
mau mendukung saya”
P.
Wrg : “eh pace, memangnya ko
mau buat perubahan apa kah?” (bertanya dengan
logat papua)
Caleg :
“ya, saya akan menjadikan tempat ini sebagai tempat pariwisata, jadi kalian
sebagai pedagang disini
hidupnya akan lebih sejahtera, saya juga akan
memberikan jaminan kesehatan dan sekolah gratis bagi yang kurang mampu”
(dengan ekspresi bangga)
Semua warga :
(saling berpandangan dan berkata akan memilih caleg tersebut dan
semuanya serentak berkata) “ya, kami akan
memilih nomor urut 2 setengah”
Adegan
II
(Latar menunjukkan di jalanan)
Hari demi hari berlalu,
pemilihan anggota legislatif telah selesai, akhirnya caleg nomor urut 2 setengah pun telah menjabat sebagai anggota legislatif.
Warga pun semuanya gembira, karena menganggap bahwa tempat mereka akan
sejahtera dan hidup mereka akan terjamin. Namun ternyata apa yang diharapkan
tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi.
Suatu hari, di pasar-pasar, jalanan dan tempat umum sedang
diadakan razia pedagang kaki lima dan sebagainya. Polisi dan Pol PP pun bekerja
sama untuk melakukan razia.
Pol PP :
(mengambil semua dagangan yang ada) “maaf bu, dagangannya saya
ambil, anda tidak boleh berjualan di tempat
ini, itu sana lihat ada
peringatannya” (sambil menunjuk peringatan
yang ada)
PKL :
(berusaha merampas kembali dagangannya) “tapi saya kan sudah lama
berjualan disini pak. Kenapa saya dilarang
berjualan disini lagi sekarang?”
Pol PP :
“ia saya tahu, tapi sekarang sudah ada peraturan baru. Pedagang asongan
dan edagang kaki lima di larang berjualan
disini”
PKL :
(senyum-senyum sendiri) “oh kalau begitu bapak salah menagkap orang.
Sini kembalikan dagangan saya”
Pol PP :
(bingung) “ha? Salah kenapa memangnya?”
PKL :
“coba bapak lihat, kaki saya cuman dua pak. Wong bapak bilang pedagan
kaki lima. Bapak salah orang”
Pol PP :
(geleng-geleng kepala dengan ekspresi heran) “ya ampu, sudah-sudah
dagangannya saya ambil.
Ibu pulang dan ingat tes kejiwaan yah” (pergi
sambil membawa dagangan yang disita)
PKL :
(lemas dan pasrah) waleh wale, bagaimana ini toh, dagangan saya disita.
Mau makan apa saya nanti. (pergi dari tempat
itu)
Adegan
III
(Latar menunjukkan di sebuah warung
kopi)
Di sebuah warung kopi
yang berada di pinggir kota, sedang ramai kedatangan tamu yang sedang menikmati
kopi dan makan. Tidak lama kemudian datanglah si Pedagang kaki lima yang
berjalan lunglai kea rah warung tersebut.
P.Wrg :
(melihat ke arah pedagang kaki lima yang datang) “wei mace, ko pu
barang-barang dong
dimana? Su laku smua kah? Wei ko hebat skali kah Kenapa ko lemah sekali mace?”
PKL :
(menjawab lemas) “tadi ada razia, pedagang kaki lima dilarang jualan di
jalan. Padahal saya
sudah lama berjualan disana. barang-barang saya disita sama Pol PP” (menoleh ke samping dan melihat
kea rah Pol PP yang sedang minum kopi) “hei ini dia yang menyita jualan saya”
(melihat dengan ekspresi marah)
Pol PP :
“wah wah sabar dulu bu, saya hanya menjalankan tugas saja. Bukan saya
yang salah. Kalau saya
tidak menjalankan tugas, nanti saya lagi yang di pecat. Kan kasihan anak istri
saya” (berusaha membela diri)
Warga :
“hmm aneh yah, kok sekarang malah banyak peraturan?”
PKL :
“ia padahal dulu kita di janjikan akan sejahtera, tapi nyatanya kita malah
digusur”
Mahasiswa :
(masuk ke warung dan langsung memesan kopi) “buk, kopinya 1 yah.”
(lalu melihat kearah
orang-orang yang berada disitu) “bapak-bapak, ibu-ibu kenapa wajahnya layu semua?”
PKL :
“ini loh nak, saya baru aja kena razia, pedagang asongan dan kaki lima
dilarang untuk
berjualan di jalanan lagi, padahal kita udah bertahun-tahun jualan disana”
warga :
(langsung menyela pembicaraan) “ia bahkan, pemukiman di kampung kita
ini juga mau digusur,
waleh mau tinggal dimana kita nanti toh, nyari makan aja susah, gimana mau
nyari rumah baru?”
P.Wrg :
“wehh,, kalau kita pu kampong ini di gusur, sa deng sa pu keluarga dong
tinggal di mana su? Mo pulang papua ju biaya
mahal, hmmm”
mahasiswa :
“kita tidak bisa di perlakukan begitu saja, walaupun tempat kita kumuh dan
kita hanya warga biasa,
kita sebagai orang bawah tidak boleh terima dengan apa yang di lakukan oleh
orang atas ” (bicara dengan menggebu-gebu) “enak saja kita ditindas begitu
saja, coba bapak, ibu pikirkan. Sebenarnya kita lebih berwibawa dari mereka”
Warga :
“loh kok bisa gitu?” (bertanya penasaran)
Mahasiswa :
“yah, coba bapak ibu mau pilih yang mana? Pakai bawahan tapi gak pakai
atasan, atau pakai atasan tapi gak pakai
bawahan?”
semua warga :
(mencemohnya) “huuu kamu ini ada-ada aja”
mahasiswa :
“ia soalnya wajah kalian semua pada cemberut, kusut banget. Makanya
senyum dong”
Pol PP :
“memangnya kamu sendiri dari mana tadi? Kok pakai jas segala?”
Mahasiswa :
“ia saya baru pulang demo bersama teman-teman mahasiswa yang lain”
Pol PP :
“memangnya demo karena apa?”
Mahasiswa :
“ itu loh, kalian sudah dengar di berita belum? Narapidana koruptor yang
bernama Gayung
Timbunan, ternyata masih berkeliaran diluar. Malah minggu lalu dia tertangkap
kamera sedang liburan ke bali”
PKL :
“wah, wah, wah benar-benar edan tu orang yah”
P.Wrg :
“ia betul itu, hukum di ini negeri su tir berlaku lagi kah”
Warga :
“hmm sebenarnya apa sih enaknya jadi koruptor? padahal karuptor itu
sama
aja kayak maling”
P.Wrg :
“yah bedalah mace,”
Warga :
“emang apa bedanya?”
P.Wrg :
“kalau maling ketahuan pasti di hajar, tapi kalo koruptor ketahuan malah
masuk di tipi mace, ko tir lihat itu gayung
timbunan kah?”
mahasiswa :
(menyambung pembicaraan) “ia benar itu, dan juga bedanya koruptor pasti
nggak pernah kemalingan”
warga :
“kenapa emangnya”
mahasiswa :
“ia soalnya maling nggak mau hartanya haram dua kali. Soalnya dia udah
maling dari orang yang
juga maling uang negara. Kan kalau gitu pantas
hukumannya selalu lebih berat dari koruptor. Kalau koruptor mah, yang
penting ada money. Hukuman bisa di beli ”
PKL :
“ia benar juga sebenarnya itu, ckckck,,, aneh banget yah Negara kita ini.
Pemerintahannya juga benar-benar edan”
Mahasiswa :
“ia buk,, jaman sekarang uang itu di Tuhankan, sedangkan janji di
palsukan. Warga biasa
selalu saja menjadi sasaran. Lalu sekarang apa yang bapak dan ibu mau lakukan?
Apakah kalian mau begitu saja pemukiman kita digusur dan tempat jualan bapak
dan ibu juga dirazia?”
Semua warga :
( semua rebut karena diskusi)
Mahasiswa :
(tiba-tiba timbul niatnya) “bapak dan ibu sekalian, begini besok saya dan
teman mahasiswa yang
lain akan melanjutkan demo di depan gedung DPR, bagaimana kalau kalian ikut
saja untuk berdemo supaya keinginan kalian di dengar disana”
semua warga :
“ia benar kita setuju”
Pol PP :
“eh eh eh… tunggu dulu, trus bagaimana dengan saya? Kalau kita demo
trus tidak ada razia
lagi nanti, emangnya saya mau kerja apa? Kan saya nganggur aja nanti di kantor.
Lama-lama saya di pecat lagi”
P.Wrg :
“eh pace ko terlalu egois skali kah. Ko mau kita pu rumah dong kena gusur
kah? Memangnya itu pemerintah dong ada kasih
ko rumah baru?”
PKL :
“eh kamu ini gimana sih? Kan kamu warga disini juga. Besok kamu nggak
usah pake seragam. Nah kalau begitu tidak ada
yang akan mengenal kamu”
mahasiswa :
“ya sudah sudah,, berhenti dulu berdebat. Pokoknya besok siap-siap jam 7
kita berangkat ya. Kita
kumpul dulu di warung ini.. sambil mace buatin kita kopi. Biar semangat. Yang
penting gratis yah.. heheheh” (mencolek si pemilik warung) “ya sudah kalau
begitu saya berangkat dulu yah. Sampai jumpa besok pagi yah.. salam perjuangan”
(mengacungkan tangan kanannya)
semua warga :
“hidup…hidup…hidup..”
Pada akhirnya semua
warga yang ada disitu masing-masing berpisah kembali ke rumah masing-masing dan
menyiapkan diri untuk melakukan demo esok harinya. Demikianlah kisah dalam
drama tersebut yang menceritakan betapa gilanya negari kita ini. Para pemimpin
hanya mengumbar janji-janji manis saja, hak rakyat di jadikan milik pribadi dan
rakyat miskin yang selalu menjadi sasaran. Kesimpulannya negeri kita ini belum
demokrasi tapi masih setengah demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar